Wise On Worstworld
Kala pilihan tidak banyak, kala harus memilih dalam waktu singkat
Kala harap tidak ada dalam pilihan, kala terpaksa dalam mengambil keputusan
Mungkin makian menjadi relevan, mengambil-alih jadi ide cemerlang
Kita pun berkata "hidup ini kejam," dendam, merancang pemberontakan yang sia-sia
selamat datang di W i s e On Worst World
Menghirup udara pagi merasakan matahari terbit
Minum kopi bebas kimiawi, meracik bumbu tanpa fitsin
Memakai air bebas kaporit, tidur lelap tanpa farmasi
Barangkali masih bisa, barangkali masih nikmat
w on w w   a g a r   k a u   d a n   a k u   b e r k a t a   "h i d u p   i n i   i n d a h"

  Tangis Bisu Di Ujung Perjalanan Daftar Isi  
  Cerpen oleh Harefa, Kris  
 
 
 

Hari ini tanpa istirahat sedikit pun, aku menghabiskan waktu mengunjungi orang-orang yang memanggilku kesini. Seharian penuh juga aku kecewa sebab tak satu dari mereka yang mampu membuatku kembali. Yang mereka tawarkan sama saja, intinya masih ingin mamakai tenagaku dengan biaya rendah. Kekecewaan yang saya alami hari ini membuatku tidak berniat menjajaki tawaran mereka lebih jauh, aku harus kembali ke Jakarta. Ya lebih baik kembali ke Jakarta dari pada melibatkan diri dengan mereka. Yang tidak begitu pasti bagiku adalah bagaimana bisa meninggalkan kota ini setelah berada di dalamnya lagi, hatiku tidak setuju meninggalkannya untuk kedua kali.

Yogyakarta menempati posisi istimewa dalam hidupku, ditengah-tengah kenyamanan dan keramahannya aku telah belajar hidup, memahami persahabatan dan cinta kasih. Aku pernah berjanji untuk hidup di dalamnya sampai aku menjadi kakek-kakek kemudian mati dan dikubur, tetapi suatu tragedi membuatku melarikan diri. Tragedi yang seharusnya tidak terjadi seandainya Jane bukan orang cacat yang hidup sebatang kara. Atau, di sisi lain, seandainya pemilik toko tidak memakai zat kimia. Tetapi tragedi itu telah terjadi sehingga aku menjadi dendam, dibayangi rasa pilu tak berujung serta penasaran yang tak pernah terjawab. Hari-hari setelahnya aku habiskan mempertanyakan keberadaan Tuhan, aku menjadi orang complicated !

***

Saat itu sehabis gajian, aku membeli sekotak ayam goreng dan membawanya untuk Jane. Seperti biasa, Jane ada di"istana"nya, duduk menghabiskan hari untuk mengemis. Kudekati, duduk disampingnya. Jane aku dapati diam membisu, dia tidak melirik sedikit pun pada makanan yang aku bawa. Lama kami berdiam diri sampai kemudian dia melakukan berbagai gerakan yang menggambarkan suasana hatinya. Ternyata dia sedang marah, entah pada siapa.

Bagiku, Jane yang marah tidak asing lagi. Aku sering mendapatkannya marah-marah, bahkan kalau sangat marah dia tidak menyingkir dari tengah jalan. Kenekatan itu yang membuat kami saling mengenal beberapa bulan sebelumnya.

Aku selalu tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghadapi Jane yang marah. Yang selalu kulakukan adalah membiarkannya sendiri. Tetapi ketika kali ini aku pamit pulang, Jane yang marah tiba-tiba menghalangiku sambil, seakan tak kuasa menahan lagi, dia menangis. Inilah tangis yang pertama sekali kulihat darinya, sunyi tanpa sesegukan. Dari matanya menetes dua atau tiga butir air, namun aku tahu, di dalam sana Jane terguncang.

Tidak jadi pamit, aku mendekati dan menatap bola matanya yang lembab, ikut merasakan keguncangannya. Untuk kesekian kalinya, aku terguncang menyaksikan kehidupan yang dia alami. Jane yang malang harus hidup sebatang kara, pilihannya hanya mengemis atau makan dari tong sampah. Hatiku tersayat-sayat memikirkan bahwa di luar sana, hampir setiap malam ada pesta yang berakhir dengan membuang lauk, nasi, eskrim dan lain-lain, jauh lebih banyak dari kebutuhan Jane.

Walau tidak mengungkapkan sepatah kata, nampaknya keberadaanku telah menghentikan tangis Jane. Beberapa saat kemudian, Jane mengisyaratkan sesuatu. Kedua tangannya diayun-ayunkan bagai orang mandi dengan gayung. "Mau mandi ?", tanyaku, dia mengangguk.

Aku berpikir keras mencoba menebak-nebak tempat mandi yang biasa dipakainya. Tetapi aku tidak punya ide, sehingga aku menggamit tangannya membawanya ke kost. "Biarlah Jane mandi di kostku saja." pikirku. Jane tidak menolak.

Jane ternyata gadis cantik. Setelah mandi, dia nampak seksi dalam balutan t-shirtku yang dia kenakan. Dia mengambil kotak ayam goreng yang tadi kubawa, makan sambil melirik-lirik. Kemarahannya seolah telah menguap entah kemana. Senyumannya justru mengingatkanku pada Jeny, gadis yang pernah mengisi hari-hariku dengan cinta. Kalau tidak bisu, Jane pasti melakukan hal yang biasa dilakukan Jeny, senyum dan lirikan Jane itu, bagai cerita-cerita Jeny yang menggelikan.

Setelah makan, Jane menuliskan sesuatu untuk aku baca. Dengan cara yang dia mulai itu pula, kami melakukan komunikasi terbaik dibanding yang sudah-sudah. Aku mengetahui lebih banyak tentang kehidupan Jane.

***

Jane mengenal ibunya sebagai pelacur yang meninggal karena penyakit kelamin. Sementara tentang ayahnya, Jane tidak tahu menahu. "Ibu pernah bilang bahwa ayah saya bekas majikan ibu.," tulis Jane.

Setelah ibunya meninggal, Jane diasuh bibi Lena teman seprofesi ibunya. Tetapi pada umur 10 tahun, dia melarikan diri karena sering dilecehkan oleh tamu bibi. Dalam pelariannya itu, Jane dipertemukan "dewi", demikian Jane menceritakan pertemuannya dengan Suster Meri. Jane dibawa ke asrama dan diajari bermacam-macam hal. Dia tinggal di sana sampai umur 12 tahun, hingga suatu saat dia melakukan tindakan bodoh.

Adalah Lina kakak asrama yang tidak tinggal di asrama lagi, tetapi sesekali berkunjung. Walau bisu, Lina kelihatan sukses di luar sana, membuat Jane kagum. Ketika Lina menawarkan Jane ikut ke Yogya, Jane tidak ragu menyediakan diri.

Sesampai di Yogya, Jane mengetahui bahwa Lina tak lebih dari bibi Lena, di salah satu rumah bordil di Yogya, Lina dikenal sebagai kembang bisu. Mengetahui kenyataan itu, Jane pergi diam-diam berharap mendapatkan pekerjaan untuk menghidupi diri sendiri. Tetapi selanjutnya dia mengemis, cara satu-satunya menyambung hidup.

***

Pagi sebelum aku membawanya ke kost, Jane pergi ke tanah kosong dekat istananya. Di sana ada tempat mandi rahasia yang mereka bangun dengan menggali tanah dan membocorkan selang PDAM. Sebelum mencapai tempat rahasia itu, Jane melihat teman-temannya berhamburan melarikan diri, sebagian besar berhasil. Tetapi Jane melihat teman akrabnya Ririn didorong kasar ke dalam mobil polisi kemudian dibawa pergi. Tak lama kemudian, Jane melihat pemilik dan satpam Toko sebelah timur keluar dari tanah kosong. Kehadiran orang-orang itu membuat emosi Jane memuncak, dia pernah diusir dari toko itu dan sekarang mereka bawa polisi untuk menangkap Ririn.

Lepas kendali, Jane menyerang dengan Lumpur, diikuti teman-temannya yang kini kembali untuk menyerang. Orang-orang itu lari menyelamatkan baju bersih, mungkin juga nyawa mereka.

Jane dan teman-temannya menyimpan dendam, mereka menerobos dan berhasil memasuki toko. Makian dan teriakan mereka tidak habis-habis, menyusul tindakan membanting, menendang dan menghancurkan. Mereka akhirnya berhenti setelah tidak ada lagi barang yang layak dirusak. "Dimata banyak orang adalah tragedi, tetapi setelahnya kami merasa seolah memiliki harga diri lagi." Tulis Jane.

Sekeluar dari toko, Jane dan kawan-kawan bersembunyi menunggu situasi aman. Dalam pada itu Jane merasa haus. Setelah agak lama menahan diri, Jane akhirnya nekad menuju warung pojok yang ternyata masih tutup. Kemudian Jane mengemis minum di warung-warung, tetapi mereka menutup pintu sebelum Jane sampai. Jane yang haus sudah tidak tahan lagi, sehingga dia mengendap-ngendap menuju tanah kosong. Sesampai disana, dia buru-buru minum air yang dia temui. Dia melihat papan pengumuman yang baru tertancap disana, namun dia tidak mau membacanya. Bagi Jane, papan pengumuman seperti itu ada ribuan, sebagian besar ditujukan pada mereka. "Saya benci papan pengumuman," Aku Jane.

Sekembali dari sana, Jane menyimpulkan, situasi sudah aman untuk kembali bekerja. Tidak lama setelah itu, aku membawanya ke kost.

***

Jane menghabiskan hampir satu buku tulis saat kami berdua memutuskan tidur. Ketika aku pamit ke kamar sebelah, Jane memegang tanganku sambil mengeleng-gelengkan kepala. Mata dan ekspresi tubuhnya memberitahukan hal lain, sebuah keinginan wanita dewasa. Menghadapi sikapnya itu gairahku terusik. Perlahan tapi pasti, tanganku membelai rambutnya, menyandarkannya di dinding. Lama kutatap bibirnya yang bisu itu, sampai akhirnya kutemui ketidakberdayaan di sana, kepasrahan yang entah karena apa. Dalam kobaran gairah, aku mencium lembut keningnya dan bertahan disana sampai akhirnya aku berkata lebih pada diriku sendiri : "jangan..."

Aku tidak bisa tidur, benakku dipenuhi rasa iba. Berbagai perasaan menyesakkan. "Seharusnya Jane memiliki tempat bersandar ! Siapa yang menolong apabila dia sakit? Apakah dia harus menghabiskan hidup untuk mengemis ?"

***

Sekitar jam tiga dinihari, aku dibangunkan oleh Jane yang mengerang-ngerang. Setelah memasuki kamarku dan menyalakan lampu, aku mendapatkan Jane sedang menahan sakit di bagian perutnya. Buru-buru aku beri dia minum dan menggosok badannya dengan balsem, tetapi usaha itu tidak memberi pengaruh. Jane semakin menderita saja, wajahnya pucat dengan tubuh berkeringat dingin. Dia menggapai-gapai menahan sakit.

Tidak tahan melihatnya menderita, aku meminta bantuan teman untuk membawa Jane ke rumah sakit. Di perjalanan, kami mendapatkan hidung dan mulut Jane mengeluarkan darah. Sesampai di UGD, dia pingsan.

Duduk di UGD di tengah larutnya malam itu, membuat suasana hatiku mencekam. Raung tangis yang sesekali membahana, menghadirkan alam menggidikkan. Di tengah-tengah itu, Jane tergeletak tak berdaya dalam kerumunan dokter. Bagai terpengaruh suasana, aku melihat para dokter itu bagai segerombol malaikat pencabut nyawa. Jane yang malang sedang dikerubuti oleh mereka, nampaknya semakin banyak peralatan medis yang didorong ke tempatnya. Lalu aku mengingat Tuhan, ya... Tuhan yang sejak aku kecil kupercaya sebagai penolong orang lemah. Walau sudah lama tidak doa makan, doa pagi atau doa menjelang tidur, kali ini mataku menengadah, seakan Tuhan ada dilangit-langit UGD. Hatiku berseru-seru meminta kesembuhan untuk Jane. Lama sekali aku melakukan doa aneh itu sampai akhirnya harus kuhentikan karena dokter datang membawa jawabanNya: "Kami sudah berusaha, tetapi Tuhan jualah yang menentukan."

Di tengah histeri Ririn dkk, aku menyelinap pergi menuju tempat mandi rahasia itu. Sesampai disana, seluruh tubuhku menjadi kaku membaca tulisan di papan pengumuman itu, penyebab kematian Jane : "Semua Air Di Tempat Ini Telah Ditaburi Zat Berbahaya. Dilarang Minum, Mandi, Atau Mencuci Muka." Dengan berdiri mematung, sekali lagi aku menengadah melihat Dia, namun kali ini wujudNya lain. Dia bukan sosok penolong orang lemah lagi. Jane menderita oleh zat yang ditaburkan para kuat, para kaya, para tidak bisu serta para sejahtera, Dia tidak menolong !

***

Seolah tersadar dari lamunan panjang, aku mendengar abang becak masih bersiul-siul, siulan yang telah dilakukannya sejak aku naik tadi sore. Aku sudah hampir 3 jam berkeliling, dan kini berada tak jauh dari istana Jane. Seketika muncul keinginanku untuk melihat perempatan itu, ingin mengenang Jane sambil berharap untuk kembali normal dengan menganggapnya sebagai kenangan.

Tetapi ketika sudah sampai disana, hatiku dicekam perasaan tak menentu. Benakku dipenuhi rasa kasihan, geram dan penasaran, menyusul kemunculan Jane, pemilik toko dan Tuhan. Pikiranku mengakui bahwa aku menyimpan dendam, namun masalahnya hanya Tuhanlah yang selama ini kumaki-maki. Nampaknya tidak memperbaiki apa-apa. Ada pemilik toko yang harus bertanggungjawab, tetapi aku tak cukup kuat menyentuhnya. Kesadaran itu membuat kepalaku pusing, tubuhku bergetar dan emosiku memuncak. Aku mengalami ketegangan yang sulit aku pahami. Sebagian diriku ingin membalaskan dendam Jane saat itu juga, sebagian lagi memaparkan dengan jelas bahwa aku tidak berdaya. Lama kemudian, aku merasa lemas hingga kakiku tak kuat berdiri. Aku jatuh terduduk dan menangis, menangis dan menangis. Tangis yang setahun lalu tidak bisa keluar.

Setelah lama menangis, aku dikejutkan bayangan Jane. Ya... aku melihat Jane datang. Dengan ceria dia turun dari langit menuju padaku. Di ketinggian 5 atau 6 meter di depanku Jane melayang-layang dan mengumbar senyum. Tiba-tiba aku merasa bertenaga lagi, suasana hatiku sepertinya telah kembali. Aku memperhatikan Jane yang masih tersenyum, dia nampak tidak kekurangan apa pun jua. Lama aku berdiri sambil melambai-lambai ke arahnya bahkan berteriak-teriak memanggilnya turun. Tapi Jane tidak mau turun. Teriakanku berhenti ketika disela teriakan pengendara yang merasa terganggu : "He Gila, Jangan teriak-teriak!"

Aku sadar, ternyata aku sudah menghabiskan beberapa menit berteriak. Tetapi Jane mendatangiku, apakah mereka tidak melihatnya? Lalu tanganku menunjuk Jane yang sekarang sudah berganti baju dengan model paling ngetop "Lihatlah," kataku pada mereka, "Janeku datang." Tetapi wajah mereka seakan tidak melihat apa pun. Beberapa kali aku memperkeras teriakanku sambil memastikan bahwa telunjukku tepat mengenai Jane. Tetapi mereka masih seperti itu.

Jane mengerti hal itu sehingga dia mengajakku berpindah ke timur. Bajunya kini telah berganti dengan bahan sutera yang menyilaukan. Di tangannya ada bungkusan snack luar negeri merek terkenal. Sambil ngemil, Jane bilang bahwa --sekarang dia tidak bisu lagi-- dia sudah kebal dengan bahan kimia. Untuk membuktikan itu, dia mengeluarkan bahan kimia dari kantong bajunya dan menjadikannya saus untuk snack luar negeri itu. Aku terheran-heran, kemudian terpingkal-pingkal menertawakan pemilik toko yang masih mengandalkan zat kimianya.

Setelah sampai di perempatan timur, aku memberitahu pada setiap orang bahwa Janeku kembali dengan kekuatan baru, tetapi sama seperti di perempatan sebelumnya, mereka tidak melihat apa-apa. Jane mengerti hal itu hingga dia mengajakku ke utara lalu ke selatan, kembali lagi ke barat, ketimur lagi, ke utara, selatan...

 
 
 
  Cerpen oleh Harefa, Kris Daftar Isi