Wise On Worstworld
Kala pilihan tidak banyak, kala harus memilih dalam waktu singkat
Kala harap tidak ada dalam pilihan, kala terpaksa dalam mengambil keputusan
Mungkin makian menjadi relevan, mengambil-alih jadi ide cemerlang
Kita pun berkata "hidup ini kejam," dendam, merancang pemberontakan yang sia-sia
selamat datang di W i s e On Worst World
Menghirup udara pagi merasakan matahari terbit
Minum kopi bebas kimiawi, meracik bumbu tanpa fitsin
Memakai air bebas kaporit, tidur lelap tanpa farmasi
Barangkali masih bisa, barangkali masih nikmat
w on w w   a g a r   k a u   d a n   a k u   b e r k a t a   "h i d u p   i n i   i n d a h"

  SASTRAWAN TANGGGUNG Daftar Isi  
  Cerpen oleh Harefa, Kris  
 
 
 

Kelas dua bahasa I begitu ramai, cekikikan, canda tawa dan bualan berlomba-lomba mencari perhatian. Kelas ini dikenal ramai di SMU Budi Sejati. Pak Neman, sang kepsek, dalam satu apel pagi pernah mengatakan bahwa kelas ini tak pernah statis. Dari caranya mengatakan, tak ada yang bisa menyimpulkan apakah itu pujian atau sebaliknya.

Di sudut kanan ruangan terbentuk kelompok Mamat, Lilis, Tomi, Ipung. Kelompok ini yang sepakat mencopot pengumuman ketidakhadiran Bu Lastri. Hitung-hitung, dari pada minta pulang, mending beramai-ramai sampai bel pelajaran terakhir terdengar.

"Setahuku, lawan kata statis adalah dinamis, kelas kita dipuji pak Neman," Lilis yang aktif di OSIS membantah Tomi yang sedari tadi berpendapat kelas mereka telah dipandang jelek.

"Tapi dinamis tidak selalu positif" Ipung yang diam-diam tak rela Tomi kalah argumen, mencoba menggoyah pendapat Lilis.

"Yang penting..."

"Yoi… oi aku berhasil !!!" tiba-tiba Ardi si penyendiri berteriak, memotong ucapan Mamat yang sudah setengah jalan. Aksinya membuat semua menoleh sehingga dalam beberapa detik kelas menjadi hening. Tetapi amit-amit, si penyendiri itu sudah kembali dalam kegiatannya, cuek dan mengkhayal, membuat kesal seluruh kelas.

"Salah makan kali", Mamat memuntahkan kekesalannya.

"Kalau hanya salah makan, ntar juga sembuh, tapi kalau gini", Emen dari kelompok lain, menempel miring telunjuknya di dahi. "bisa barabe donk kelas kita", lanjutnya.

Beberapa masih memuntahkan kekesalan mereka, tetapi Ardi tidak peduli. Dia asyik membuat catatan di buku tulisnya sambil sesekali memandang langit-langit ruangan. Tomi, sang ketua kelas, mencoba membuat si budek Ardi terpancing.

"Kalian mengambil kesimpulan seenak perutnya saja. Kalau perut kalian sudah penuh, kalian tidak segan-segan memuntahkannya pada Ardi, untung Ardi bukan orang tersinggungan. Ardi lagi ngarang, harusnya kalian bangga di kelas kita ada seorang sastrawan".

"Uh… gundulmu itu," padahal Tomi nggak gundul, "orang kayak gitu masih saja dibelain."

Semua mulut terbuka hendak menelan Tomi.

"Kalau kamu menganggapnya sastrawan, kamu jauh-jauh dari kita deh. Sana pergi ikutan bengong". Lilis selalu menolak pendapat Tomi.

"Tunggu dulu," Tomi tidak mau kalah, "Aku jangan buru-buru disingkirin, kalau aku belain Ardi, apakah aku terasing dari kalian-kalian itu…? Hemmm… aku pikir kalau hanya aku teman Ardi di sekolah ini, Lilis orang pertama yang ingin berteman denganku, biasa, urusan tulang rusuk..." Tomi membela diri sambil memancing masalah lain. Wajah Lilis bersemu merah.

Merasa situasi mulai kacau, Ardi berdiri dari kursinya. Serentak semua memandang anak super cuek itu. Pelan tapi pasti, ia membuka mulut. "Ngapain sih kalian ribut-ribut amir ? atau amat ? Pokoknya sama saja! Yang kalian ributkan itu sepele. Oke dah aku pantas dimaki karena tidak memedulikan penasaran kalian, namanya juga sedang konsentrasi." Ardi berhenti sebentar, dia memperhatikan ruangan yang sekarang sudah hening.

Lilis yang baru diledek ikut-ikutan terpukau, setiap kali Ardi mengambil-alih suasana, Lilis tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin karena anak itu jarang berkomentar. Dalam kelopak mata Lilis saat ini, Ardi berubah jadi cowok terganteng sejagat. "Ah mengapa aku memikirkannya ? toh Ardi tak kalah beku dengan es batu. Tapi… benarkah dia begitu ? Tidak… malah tidak ada bandingannya dalam kelas ini. Aduh… dari tadi dia hanya melirik-lirik Ipung, mungkin..."

"Sebagai pelajar", lamunan Lilis disentak suara Ardi yang kini lebih bergema. "Kita harus bisa memahami orang lain sebagaimana kita ingin dipahami, dan sama pentingnya, kita harus menghargai karya orang lain sebagaimana kita ingin orang lain menghargai karya kita. Kalau aku ingin mengarang, teman-teman seharusnya memahami aku sebagai pengarang". Ardi Berhenti sebentar, dalam hati dia heran, tak seorang pun mencoba memotong ucapannya. Lalu dia melanjutkan. "Tadi aku berhasil menyambung kalimat cerpen yang sudah lama terbengkalai, apanya yang aneh kalau aku berteriak seperti kejatuhan bulan...? Walau harus kuakui, kalau bulan benar-benar jatuh, tidak mungkin aku masih berdiri disini." Ardi berhenti, bermaksud duduk kembali, tetapi teman-temannya tersenyum menyambut leluconnya itu. Dia beranjak ke mejanya, mengambil tas dan memandang sekali lagi seisi ruangan. Semua mata masih mengikuti gerak-gerik Ardi, menanti kalimat berikut dari mulutnya.

"Oke", sahut Ardi kemudian, "pelajaran kali ini kita akhiri, bye bye..."

"Uh... dasar pembual." mereka sadar telah dijadikan murid oleh Ardi."

"Tapi bagus kok, dia kreatif…" Ipung spontan berkomentar. Nampaknya tidak ada yang menyangkal komentar tersebut.

Tomi mendekati Lilis. "Lis, Benar kan, dia cocok jadi sastrawan", godanya.

"Sorry aja, kalau kamu berpendapat begitu, ya bukan urusanku. Tapi bagiku, dia orang yang tidak bisa santai, serius terus." Lilis menyangkal kata hatinya sambil memperhatikan Ardi, tetapi Ardi seperti biasa, cuek bebek.

***

Ardi pulang dengan perasaan tak menentu, dia membayangkan suasana kelas yang tadi dia ambil alih. "Memang ironis," pikirnya, "Teman-teman antusias mendengarkan aku. Namun mengapa setiap kali aku mencoba berteman, semua seakan kaku, tidak enak diajak bicara. Ah… mungkin Tomi benar, aku ini sastrawan. Tapi bagaimana bisa, tak ada satu pun tulisanku dimuat di mediamassa. Ah aku ingin hidup seperti mereka." Mengingat kata-kata Lilis, tidak biasanya Ardi tersinggung, tetapi ia mengakui yang dikatakan Lilis benar adanya.

***

Pukul 16.30 Lilis sudah berada ruangan OSIS, dia nampak gelisah. Lilis mendekati Anggi, koordinator Seni dan Budaya OSIS SMU Budi Sejati.

"Gi, undangan untuk Ardi sudah kamu sampaikan ?", tanya Lilis

"Dia menolak ikut, katanya kalau Lilis terlibat, dia lebih baik ngak usah terlibat," Jelas Anggi.

"Anggi, aku serius, kamu malah main-main," Lilis tidak percaya apa yang didengarnya.

"Kok kamu bilang aku main-main ?", balas Anggi seru

"Trus, siapa yang kamu andalkan jadi ketua panitia ? setahuku kamu sendiri tidak yakin bisa menangani acara tersebut."

"Lis, kamu tiba-tiba bloon ya? aku tidak jadi pelaksana kegiatan itu, bisa atau tidak. Ingat, ide kegiatan ini berasal dari Unit kalian, jadi kalianlah orang-orang terdepan."

"Tidak bisa, tanpa Ardi. Dia harus kamu libatkan! ngerti! Kalau tidak bisa, biar aku yang mengundangnya." Lilis meninggalkan Anggi yang bengong. Lilis tambah gelisah karena alasan Ardi yang menolak kerja sama dengannya.

***

Ardi bersiap-siap pergi ketika Lilis menerobos kamarnya. Sifat cuek Ardi sedikit tergugah melihat Lilis yang aneh.

"Ada apa Lis, tumben ke kostku."

"Ok, langsung saja, mengapa kamu menolak terlibat kepanitiaan, gara-gara aku juga terlibat ?"

"Emangnya kenapa ?" Ardi mulai sinis. "Kalau aku tidak mau terlibat, ya itu urusanku."

"Tapi kenapa kamu ikut-ikutkan namaku? Bukankah itu pengecut? apa salahku padamu? mengapa tidak terus terang ?" Lilis menyerbu dengan suara meninggi.

"Ah… kamu mengada-ngada, benci kek, tidak kek, itu urusanku. Tapi kalau nama kamu kuikut-ikutkan, itu sih salah kaprah. Anak-anak unit lain perlu dilibatkan, jadi kamu atau aku saja dari unit kita, ngerti? Udah deh, buang jauh-jauh pikiranmu itu." Balas Ardi datar. "By the way harus kuakui, kamu satu-satunya orang di sekolah ini yang berhasil membuatku tersinggung, tapi hal itu lain urusannya.", Ardi menambahkan.

"Rupanya selama ini kamu membenciku ya," suara Lilis bergetar. "Sayang sekali, kamu seorang pengecut, tidak lebih !" Lilis memandang Ardi sengit. "Ardi, aku tidak pernah dengan sengaja menyakitimu, tetapi kalau ada sikap atau kata-kataku yang membuat kamu sakit hati, aku minta maaf." Lilis menahan air mata yang mendesak keluar, dia meninggalkan kost Ardi dengan wajah tertunduk.

***

Kegiatan Seni Budaya itu akhirnya selesai, sebagai ketua panitia, Lilis sibuk memimpin persiapan dan pelaksanaannya. Lilis bekerja keras membuktikan bahwa bukan Ardi saja yang bisa menangani kegiatan itu. Ya, Ardi bersikeras tidak mau menjadi panitia, tetapi dia mengisi salah satu mata acara. Lilis sukses menangani kegiatan itu, dia mengalami pengalaman baru, suka duka dan berbagai nuansa lain. Lilis juga menyimpulkan bahwa dia tidak mungkin mendapatkan cinta Ardi, dia mulai menghalau semua pikirannya mengenai Ardi, tapi hatinya sulit diajak kompromi.

Tiga hari Lilis tidak masuk sekolah, mamanya bingung menghadapi Lilis yang membolos. "Pokoknya aku tidak mau sekolah," jawabnya ketika mamanya bertanya. Di ujung-ujung pikirannya selalu hadir bayangan Ardi si super cuek. "Sialan, gara-gara es batu itu, aku harus begini", Lilis menyesali tingkahnya.

Di lain tempat, Ardi mengalami keanehan, gairahnya menulis menggebu. Kamarnya yang sempit dipenuhi lembaran cerpen yang dibiarkan tercecer, bagai kesurupan ingin tulisannya terpampang di rubrik cerpen majalah remaja. "Pokoknya harus bisa !", tekadnya ketika menempelkan prangko terakhir.

***

Sudah dua minggu Lilis tidak sekolah, dari teman-temannya, Ardi mendengar rencana Lilis pindah SMU. Ardi terganggu mendengar kabar itu, dirinya merasa kehilangan, tetapi dasar si cuek bebek, dia sama sekali tidak berkomentar apalagi mencari tahu.

Tanpa Ardi sadari, rasa kehilangan itu mempengaruhi bagian-bagian dirinya yang lain, dia merasa tidak sanggup konsentrasi mengikuti pelajaran. Tiba-tiba dia menutup buku, memasukkannya ke dalam tas, ia pergi tanpa pamit pada Bu Diman yang sedang mengajar. Bu Diman menyuruh Ardi berhenti, tetapi Ardi sudah error untuk terpengaruh. Dia melangkah tanpa rasa bersalah ketika melewati pintu kelas dan juga tidak mengacuhkan satpam yang berusaha menahannya.

Sepanjang siang Ardi hanya merenung di kamarnya yang sempit. Detak-detak jam beker sangat mengerikan baginya, bagai bunyi hantu yang menghitung mundur detik-detik kegagalannya. Ya, dia gagal memasukkan tulisannya di majalah remaja, langkah mendekati Lilis juga nampaknya menjadi buntu.

"Bang Ardi, buka pintu", lamunan Ardi diputus teriakan Soni, anak ibu kos, yang nyelonong sambil membawa amplop besar. "Surat untuk abang", kata Soni.

Ardi menemukan majalah remaja dalam amplop tersebut, diatasnya ada surat. Dengan berdebar Ardi membaca surat dan membuka halaman-halaman majalah. Kemudian Ardi tertawa terpingkal-pingkal. Berguling-guling di atas kasurnya yang sudah kempes karena tak pernah dijemur.

Soni bengong, walau masih anak kecil tapi dia sering melihat orang gila persis seperti Ardi yang kini makin terbahak-bahak.

"Son, kamu mau bakso atau mie ayam ?"

Soni kegirangan, dia memilih dua-duanya.

***

Lilis kaget melihat siapa yang datang, Es Batu itu kini berdiri di depannya sambil memegang sebuah majalah.

"Masuk Di, tumben ke sini, apa kabar ?" Lilis berusaha menjadi tuan rumah yang baik.

"Katanya kamu sakit Lis, apa sudah sembuh ?" tanya Ardi kaku.

"Kamu nampak kurus sekarang", sapa Ardi lebih lanjut.

Sejak kapan kamu memperhatikan aku, bukankah aku satu-satunya yang telah menyakitimu?" Timpal Lilis tidak tegas.

Ardi telah bertekad agar malam ini Lilis mengerti perasaannya, jangan sampai disalahartikan. Oleh karena itu dia memberanikan diri menatap mata Lilis dan setengah frustasi dia berkata :

"Lis, entah bagaimana perasaanmu, benci, kesal, sebel, dan lainya, tapi malam ini aku datang untuk melihatmu sekaligus membuktikan bahwa aku berusaha memperbaiki diri."

Lilis bingung menanggapi Ardi, tetapi matanya tidak bisa lepas dari mata Ardi yang sejuk.

"Apa maksudmu?" Akhirnya lilis bertanya.

"Lupakanlah, malah aku ingin mengucapkan terimakasih karena Sejak saat itu, aku sadar kurang sungguh-sungguh dalam bergaul atau berteman. Harusnya lebih santai dan tidak membenamkan diri pada pekerjaan atau hobby."

"Astaga, jadi kata-kataku itu yang kamu maksud? Nggak nyangka deh, habis kamu biasa diomongin kayak gitu." Lilis menjawab sambil ketawa.

"Aku minta maaf deh", lanjutnya setelah tawanya reda.

"Kamu tidak perlu minta maaf." Timpal Ardi.

Ardi membuka majalah yang dia bawa dan menunjukannya pada Lilis yang kini duduk merapat. Lilis terkejut membaca Judul cerpen yang ada di depannya dan setelah membaca pengarangnya dia memandang Ardi begitu dekat.

"Kamu bukan es batu, ya... kamu sastrawan unggul, sastrawan hebat", kata Lilis bersemangat.

"Lis, aku bukan sastrawan", bantah Ardi.

"Ala…, jangan terlalu merendah, ini membuktikan kamu sastrawan."

"Sastrawan sanggup mengungkapkan perasaan dengan kata-kata maupun tulisan, tapi aku belum sanggup dengan kata-kata," Ardi tiba-tiba grogi.

"Tapi kamu sudah bisa nulis," sanggah Lilis asal-asalan.

"Tapi itu hanya tulisan, bukan kata-kata."

"Misalnya ?" pancing Lilis

"Misalnya perasaanku kepadamu," kata Ardi tertahan.

Lilis tersentak, dia berharap Ardi memeluknya saat itu juga.

"Emangnya apa perasaan Ardi pada Lilis ?" Suaranya Lilis pun bergetar."

Ardi mengumpulkan segenap kekuatan, kemudian berbisik ke telinga Lilis. "Lis ... aku mencintaimu, ketidakhadiranmu selama ini membuatku tersiksa."

"Ulangi...", kata Lilis dengan senyum termanis.

Ardi terdiam beberapa saat sebelum berteriak "Lilis... aku cinta kamu."

Bulan yang tadi bercahaya redup, tiba-tiba memancarkan cahaya begitu terang. Lilis memeluk Ardi dan menikmati sepuas-puasnya wajah cowok yang sudah lama dirindukannya itu. Perlahan, kedua wajah mereka merapat, bergesek dan mendesak. Entah dari mana datangnya, cahaya yang kini menerobos ruangan, mendengarkan suara berceletok, berdesah dan melenguh. Bagai spionase, dia melaporkannya pada bulan. Agak lama setelah laporan-laporan itu sampai, si planet bercahaya itu pun mengundang awan hitam menghalangi cahayanya, pertanda Ardi harus pulang kalau tidak mau kehujanan.

 
 
 
  Cerpen oleh Harefa, Kris Daftar Isi