Wise On Worstworld
Kala pilihan tidak banyak, kala harus memilih dalam waktu singkat
Kala harap tidak ada dalam pilihan, kala terpaksa dalam mengambil keputusan
Mungkin makian menjadi relevan, mengambil-alih jadi ide cemerlang
Kita pun berkata "hidup ini kejam," dendam, merancang pemberontakan yang sia-sia
selamat datang di W i s e On Worst World
Menghirup udara pagi merasakan matahari terbit
Minum kopi bebas kimiawi, meracik bumbu tanpa fitsin
Memakai air bebas kaporit, tidur lelap tanpa farmasi
Barangkali masih bisa, barangkali masih nikmat
w on w w   a g a r   k a u   d a n   a k u   b e r k a t a   "h i d u p   i n i   i n d a h"

  MAWAR TETAPLAH INDAH, BAGIAN 1 Daftar Isi  
  Monolog oleh Harefa, Kris  
 
 
 

Don’t You Ever Think, You Were Someone Else …

Lagu itu hadir di ujung-ujung pikiranku setiap kali engkau mengakhiri cerita tentang hidupmu. Kau adalah mawar dan tetaplah indah, tak peduli seberapa banyak semak berduri di sekelilingmu. Laras aku sayang padamu.

Kehadiranmu telah mengisi kekosongan dalam hidupku, kekosongan yang sering kutuduh sebagai penyebab kegagalan yang kualami. Mungkin hanya mencari kambing hitam. Namun sejak kau hadir, aku merasakan indahnya hidup. Bagai ban yang baru diisi penuh, kutemukan lagi keberanian yang telah lama hilang, keberanian melewati jalan berbatu, berliku atau jalan penuh lubang. Kau adalah mawar dan tetaplah mawar, keindahan pribadi yang kutemukan dalam dirimu, telah memantapkan pandanganku tentang hidup.

Kukatakan padamu, "manusia hidup hanyalah untuk bahagia."

Tetapi dengan jenaka engkau mengatakan, "manusia hidup untuk menanti kematian."

Lalu kita tertawa terpingkal-pingkal.

"Laras... aku terikat padamu, keterikatan yang tidak sanggup aku gambarkan, keterikatan yang aku sukai. Aku ingin hidup selamanya denganmu, tidak tertarik masuk surga."

Sekali lagi, kita tertawa terpingkal-pingkal. Lalu kita membayangkan saat semua telah masuk surga, kita berdua saja yang tinggal di bumi, dalam rumah mewah peninggalan atau rumah sederhana, pinggir laut atau hutan belukar, di atas perahu atau kapal pesiar atau di kamar kost ini juga, tak ada bedanya. Lalu engkau membayangkan betapa bebasnya kita.

***

Aku terlahir di tengah keluarga harmonis, tetapi hatiku sanggup merasakan dalamnya luka yang kau alami. Di kala tidurku berselimut dongeng dan impian kanak-kanakku melambung bebas, engkau diberi selimut percecokkan yang mengancam.

“Mereka mulai ribut-ribut ketika aku TK,”  begitu katamu.

Lalu engkau menceritakan bonekamu, suatu peristiwa yang sangat istimewa. Mawar kecil menegakkan diri, menembus belukar yang mulai menutupi keindahannya. Berteguh dalam tangis sampai dia mendapatkan siraman yang dia inginkan.

“Ibu pulang cari pinjaman untuk membeli boneka mahal itu,”  katamu lagi.

“Mereka menyayangimu,” sela ku. Engkau berdesah kurang yakin.

“Kalau tidak, mereka bisa saja menggendong tubuhmu yang kecil dan memaksamu pulang,” kataku lebih yakin.

Kali ini engkau terdiam, merenungi bengawan solo yang terhampar begitu dekat. Dengan suara nyaris tak terdengar, engkau menyanyikan penggalan lagu Siti Nurhalijah, “Andainya engkau kumiliki, sejak dulu, selamanya…” Aku merasa tersanjung.

Dengan kepergian ayahku, aku mengerti betul arti sebuah kehilangan. Kuceritakan padamu tentang ayahku yang menderita.

“Kehilanganmu tidak sama dengan kehilanganku,” begitu engkau berkomentar.

Menyisipkan seluet kehampaan, simpati yang hilang dan keterpusatanmu pada dirimu sendiri. Lalu engkau mengingat bonekamu lagi. Ketika percecokan semakin hari menyirami belukar di sekelilingmu, boneka itu menjadi pelindung, engkau memeluknya hingga sebagian dirimu terlindungi. Sampai akhirnya dia tidak sanggup lagi, engkau memerlukan pelindung yang lebih kuat. Tetapi di saat itu, angin keras justru datang, bonekamu terhempas! Angin mengarahkan semua belukar ke arahmu, engkau merasakan durinya menusuk.

“Mereka resmi bercerai ketika aku kelas empat SD,” desahmu.

Engkau menegakkan kepala, mencari-cari mataku. Kurasakan kepalamu tertunduk dan tubuhmu rebah ke arahku.

“Ditengah kebingungan, aku hanya mendengar pertengkaran sengit tentang hak asuh,” desahmu lagi.

Mawar tetaplah mawar, belukar tetaplah belukar, boneka telah terhempas dan percecokan sudah mereda.

“Ayahku memenangkan hak asuh,” kenangmu pahit.

Matahari tetap terbit dan hujan pun tetap turun. Hidup berlanjut !

“Ayah menikah lagi ketika aku kelas satu SMA,” desahmu sebelum engkau benar-benar tertidur.

***

Pertemuan kita selalu berlangsung sederhana.

"Kok bisa-bisanya," katamu membandingkan dengan kebiasaanmu.

Bukan di lobi hotel, bukan di restoran, aku tidak punya villa pribadi atau rumah mewah warisan. Tidak ada mobil mewah yang menjemput serta mengantarmu pulang, juga tidak ada kartu kredit keluar dari dompetku ketika engkau meminta hadiah.

"Kau bukan mangsa," guraumu saat mengetahui aku kere.

Kukatakan padamu, "uang bukan hal terpenting."

Engkau termenung agak lama sebelum mendebatku habis-habisan.

"Uang adalah segalanya, kalau bukan, aku tidak melacurkan diriku," suaramu meninggi.

"Berhentilah memakai narkoba." Jawabku.

"Engkau tidak boleh menuntutku begitu. Uang tetaplah uang, narkoba urusan lain" katamu lebih sengit.

"Aku yakin kau bisa menghentikannya", jawabku datar.

Perdebatan itu berlanjut, di tengah-tengahnya aku melihat sorot matamu yang mengerikan, bagai petir yang mampu menghancur karang. Dalam keterkejutan, kuberanikan menatapnya lebih lama, tetapi nyala petir itu semakin jelas. Aku bergidik memikirkan ada apa di balik sorot matamu yang aneh. Engkau memang mawar dan tetaplah mawar, kali ini kulihat duri yang siap mencabik segala ancaman terhadap bungamu yang mekar indah. Pandanganmu tentang uang sangat pasti, engkau mencampuradukan kebutuhan, kemewahan dan mungkin juga kekuasaan. Dalam hati aku bertekad membuat sorot matamu itu lebih sejuk. Perlahan tapi pasti, kengerian yang menghiasi wajahmu, berubah menjadi senyum, entah karena apa. Lalu dengan manja engkau menyandarkan diri di pundakku.

"Lama-lama kau akan menyerah menghadapi diriku yang aneh." Katamu pesimistis.

Aku mendekapmu erat sekali.

***

Pagi selalu membawa matahari, seperti malam selalu setia membawa bintang. Sadar atau tidak, kita mengharapkan kesetiaan sebegitu besar dari orang yang kita cintai. Tak peduli seberapa tebal awan menutup, kita tetap yakin mereka ada di atas sana. Mereka telah membuktikan kesetiaan pada berjuta generasi manusia.

Kutanyakan padamu, "maukah kau jadi bagian terpenting dalam hidupku ?"

Pelukan pagimu merenggang, sepertinya ribuan pertimbangan harus kau lalui. Dan... engkau mengingat bonekamu.

"Aku memiliki banyak pacar sewaktu SMP," katamu geli, aku tak bereaksi.

"Satu diantaranya kuanggap istimewa," sambungmu.

Banyak, Pacar dan istimewa, tiga kata yang saling menggugurkan.

Kukatakan padamu, "pacarmu hanya satu, tak lebih."

Seakan tak mendengar, engkau meneruskan.

"Satu lagi yang istimewa kutemukan saat kelas satu SMA, kehadiran mereka membuat pernikahan ayah yang kedua tidak begitu menggangguku."

Matamu terpejam dan tersenyum, terhanyut kenangan.

"Yang terakhir lebih kaya dari yang pertama," katamu sembari masih tersenyum.

Mawar yang telah berbunga mekar menilai yang paling tepat sebagai ganti bonekanya, aku teringat perumpamaan Yesus mengenai benih di antara belukar. Entah dengan kalimat apa perumpamaan itu diungkapkan dalam agamamu. Kalau sekarang Yesus mengajar di depanku, kudiskusikan padaNya bahwa kalau semak belukar disiangi, maka benih itu juga akan berbuah. Saya yakin Dia setuju...

"Ketika keduanya menuntutku memilih, aku memilih yang terakhir," sambungmu lagi.

Mawar tetaplah mawar dan luka tusukan tetap ada, perisai hanya menutup, , uang mungkin bisa menambal, namun boneka belum kembali.

"Aku masih memiliki banyak pacar, ditambah om-om yang rindu ditemani, tetapi yang istimewa tinggal dia." Katamu mulai menguap.

Aku masih merenung benih yang terhimpit...

"Lama aku pacaran dengannya, sampai akhirnya kuputuskan menyerahkan segalanya," desahmu.

Apakah belukar yang harus disiangi? Atau benih diberi perisai yang bisa melindungi sekaligus menambal setiap luka yang terlanjur ada? Keyakinanku bahwa Yesus setuju denganku mulai goyah...

"Tak lama setelah itu, dia menikah dengan perempuan lain, aku dikhianati," katamu dengan mata berkaca-kaca.

Kubiarkan kau menyandar di bahuku sampai kemudian kurasakan nafasmu teratur.

Matahari tetap beranjak, dia tidak marah walau engkau tidur lagi. Bintang perlahan menghilang untuk memastikan bahwa dia akan datang lagi. Sama seperti hilangnya pertanyaanku yang belum engkau jawab.

 
 
 
  Monolog oleh Harefa, Kris Daftar Isi