Wise On Worstworld
Kala pilihan tidak banyak, kala harus memilih dalam waktu singkat
Kala harap tidak ada dalam pilihan, kala terpaksa dalam mengambil keputusan
Mungkin makian menjadi relevan, mengambil-alih jadi ide cemerlang
Kita pun berkata "hidup ini kejam," dendam, merancang pemberontakan yang sia-sia
selamat datang di W i s e On Worst World
Menghirup udara pagi merasakan matahari terbit
Minum kopi bebas kimiawi, meracik bumbu tanpa fitsin
Memakai air bebas kaporit, tidur lelap tanpa farmasi
Barangkali masih bisa, barangkali masih nikmat
w on w w   a g a r   k a u   d a n   a k u   b e r k a t a   "h i d u p   i n i   i n d a h"

  LUMANTIK BAGIAN 1 Daftar Isi  
  Novel oleh Harefa, Kris  
 
 
 

PROLOG

Kematian menakutkan bagi yang menduga bahwa di seberang sana menanti api neraka atau para iblis dengan tanduk yang bercabang-cabang. Tetapi bagiku kematian menakutkan bila memikirkan mataku yang kini melihat, telingaku yang kini mendengar dan otot-ototku yang berdaging akan menjadi sampah, tidak kelihatan lagi karena ada di liang tertutup, tempat semua fungsi pembangun tubuhku menjadi busuk, bau kemudian menjadi fosil. Dalam memikirkannya otakku selalu enggan mengakui keraguan akan agama, "semoga agama benar dan semoga semua orang masuk surga!"

Dia akan datang! Itu pasti. Yang tidak begitu pasti hanyalah cara kedatangannya. Waktu kecil aku mendengar cerita tentang malaikat pencabut nyawa. Dia memakai jubah hitam, menghampiri dan mencabut nyawa. Jikalau itu benar, aku mohon agar dia mengganti jubah hitamnya dengan yang biru atau merah atau warna apa saja yang penting tidak hitam. Bagiku hitam adalah kepengapan, kemuraman total yang membuat sulit bernafas.

Rumah kecil ini hanya dibisingkan tv tidak berwarna, tidak ada suara seorang nenek sebagaimana di rumah-rumah lain terdengar, tidak pula suara anak apalagi cucu. Di rumah ini memang hanya ada aku, lelaki tua yang masih perjaka. Apakah aku laki-laki tertawan yang tidak boleh menikmati indahnya sex dan berketurunan? Tidak, aku tidak tertawan, semua berjalan aneh dan aku sendiri tidak mengerti apa yang terjadi, tiba-tiba aku ada di rumah ini, lingkungan yang tidak aku kenal. Kondisiku sungguh membuat bingung, rambutku ubanan, kulitku keriput dan penglihatanku kabur. Apakah hari-hari muda yang begitu jelas telah terlewati dengan alami dan aku sendiri tidak sadar? Apakah bayang-bayang masa muda itu hanya sekedar mimpi dan tidak mau pergi? Apakah aku berakar ? Siapakah leluhurku?

Kalau jam dan perhitungan hari yang aku ketahui nyata, maka sudah dua tahun aku berada di rumah asing ini. Selama itu pula aku hidup dalam kesepian. Kalau tidak nonton tv, aku hanya merenung dan merenung, kematian menjadi topik yang tidak bisa kuhindari!!

HIDUP

Bagaikan drama, hidup terdiri dari adegan dan pemeran. Pemeran utamanya adalah kerangka dari berbagai fungsi yang dinamakan manusia. Ya, manusia tidak lebih dari zat-zat alam yang pada bentuk mula-mula merupakan campuran sel sperma dan sel telur. Keterpaduan mereka kemudian bertumbuh, berkembang dan membesar, membentuk sistem yang akhirnya menjadi bagian utuh. Manusia tidak bisa menolak jika suatu saat salah satu bagian mengalami kerusakan fatal atau mencapai masa kadaluwarsa, manusia hanya bisa memberinya nama yaitu kematian, akhir sebuah drama.

Drama ini dimulai ketika aku masih kecil...

LUMANTIK

Masa kecil Lumantik tidak begitu damai tetapi bahagia, dengan cara dan karakter masing-masing mereka berusaha berbagi dengan adil. Pada masa itu, kehidupannya terpusat pada papa dan mama serta sepuluh orang saudaranya.

Pada sebuah obrolan usai makan malam, papa mama dan kakak-kakaknya yang sudah besar terlibat pembicaraan tentang kehidupan setelah mati, tepatnya masa penghakiman. Sebagai orang Kristen yang taat, mereka tidak mempersoalkan ada tidaknya masa tersebut, mereka berbicara tentang surga, neraka, malaikat dan Tuhan. Pembicaraan mereka membuat Lumantik merenung, renungan pertama dalam hidupnya yang tidak terlupakan.

"Di masa penghakiman nanti, Yesus dan semua manusia berdiri di tengah-tengah surga dan neraka..."

Lumantik berada di tepi pantai atau awan-awan atau ujung langit, tempat yang sangat luas tak berujung. Berwarna merah kekungin-kuningan.

"Yesus memanggil manusia satu persatu, Dia menghakimi mereka..."

Lumantik merasa sangat damai berada di tempat mengagumkan itu. Tetapi tidak ada seorang pun di sana, dia sendirian.

"Kemudian Yesus mengirim para pendosa ke neraka dan mengirim para saleh ke sorga..."

Lumantik mencari papa dan mama serta sepuluh saudaranya.

"Tidak ada ikatan persaudaraan, juga tidak ada garis keturunan. Semua mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri-sendiri..."

Lumantik mulai ketakutan, tidak tahu harus berlindung ke mana. Ia merasa sangat sedih, menangis sambil berharap mamanya ada di sana.

"Lum, kok menangis nak... ?"

Lumantik tersadar, papa mama beserta suadara-saudaranya masih di sana. Hari penghakiman belum tiba!

Sejak saat itu ia tidak mau berpikir kehidupan setelah mati, di sana tidak ada tali persaudaraan dan garis keturunan. Dia membenci aturan itu sembari mempertanyakan, "mengapa hubungan kami sangat istimewa saat ini? Mengapa kami geram pada siapa pun yang menyakiti salah satu dari kami ? Mengapa kami gembira bila salah satu dari kami mengalami peristiwa istimewa?" Malam itu dia meminta mama menemaninya tidur, dalam pelukan mamanya Lumantik berharap hari penghakiman tidak ada. "Siapa yang bisa memastikan bahwa ia dan keluarganya dikirim Yesus ke tempat yang sama ?"

***

Pak Guli muncul di pintu kelas diikuti seorang perempuan asing yang sangat menarik. Di belakang Pak Guli perempuan asing itu berdiri dengan kaos oblong dan celana jins. Hidungnya mancung serasi dengan pipinya yang kemerahan, rambutnya pirang keemasan menambah pesona bibirnya yang tanpa polesan. Dia bernama Caroline Marchuse, mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Prancis. Dalam rangka meraih gelar Diplom Enginering Caroline melakukan penelitian di sekolah itu.

"Jadilah teman yang baik baginya, perlakukan dia dengan sopan. Gunakan kesempatan ini dengan baik, paling tidak untuk melatih bahasa inggris." kata Pak Guli mengakhiri kata pengantarnya.

Diselingi beberapa pertanyaan nakal, perkenalan Caroline berlangsung biasa, seisi kelas merasa perempuan itu lumayan. Caroline bergabung dengan kelas dan duduk di samping Lumantik.

Lumantik berdiri menyambutnya, selanjutnya semua berjalan apa adanya. Guru matematika masuk dan kelas belajar sebagaimana biasa.

Kelas Lumantik merupakan kelas terunggul, mereka mencatat beberapa predikat yang semuanya positif. Yang sangat membanggakan adalah juara I lomba cerdas cermat tingkat propinsi, utusan sekolah mereka semuanya terpilih dari kelas itu. Selain prestasi-prestasi tersebut, kelas mereka terkenal haus ilmu, banyak guru mengeluh karena harus mempersiapkan diri extra. Mereka terdiri dari murid-murid aneh tetapi seharusnya demikian, tidak mempunyai kebiasaan cabut, walau pun di kelas lain sedang menjadi trend. CBSA yang baru dipromosikan sesungguhnya telah menjadi model dalam kelas itu, guru-guru tidak perlu susah membangkitkan partisipasi siswa, mereka malah memprotes bila pelajaran bersifat monolog. Lumantik bersyukur menjadi bagian kelas tersebut walau tidak pernah berperan dalam prestasi yang diraih.

Caroline beranjak dari tempat duduknya, layaknya orang kelelahan mengikuti sesi pelajaran, dia mau menghirup udara segar di luar kelas. Tapi niat itu urung setelah memperhatikan sekeliling, tak ada yang ingin keluar. Di beberapa meja malah terjadi pembicaraan serius membahas pelajaran yang baru saja selesai. Entah bingung atau merasa berbeda sendiri, Caroline duduk kembali.

"Selamat datang nona Marchuse." Lumantik berbasa-basi.

"Tak usah mengikuti kebiasaan kami, anda bebas keluar jika mau rileks atau menghirup udara segar."

"Terimakasih, aku memilih tidak keluar." Balas Caroline.

Lumantik memperhatikan Caroline, perempuan itu tidak memiliki bintik hitam sebagaimana orang berambut pirang pada umumnya. Hidungnya mancung, pipinya kemerahan dan matanya biru. Tanpa sadar Lumantik memperhatikan payudaranya, turun ke bawah memperhatikan pinggulnya. Walau masih dibalut kain jins tebal, pinggul Caroline kelihatan sangat indah, ideal dan serasi dengan payudaranya yang tidak begitu bengkak. Lumantik memandangnya sangat intens, membuat Caroline salah tingkah.

"Sorry." Hanya itu yang Lumantik katakan, sadar telah berlaku kurang ajar.

"Tidak masalah, aku mengerti anak laki-laki seumur anda." Jawab Caroline.

Setelah Lumantik bisa mengendalikan dirinya, ia membuka percakapan lagi.

"Nona Marchuse, aku bertanya-tanya apa yang anda teliti di sekolah kami, bukankah Diplom Enginerring berbau Teknologi?"

"Ya."

"Terus, apa hubungannya dengan sekolahku?"

"Apakah kamu pernah mendengar istilah Appropriate Technology?"

"Belum"

"Istilah itu memang baru, tetapi di negaraku dan Eropa umumnya istilah itu mulai populer, kami meyakini teknologi ini bisa menyelamatkan dunia, paling tidak memperlambat kehancurannya."

Pembicaraan mereka berlanjut hingga bel tanda masuk berbunyi. Pelajaran berikutnya berlangsung, tetapi Lumantik tidak berkonsentrasi, ia kembali terfokus pada payudara Caroline. Sesuatu dalam dirinya terusik dan inilah pertama kalinya. Pada istirahat kedua dan ketiga Lumantik terlibat pembicaraan dengan Caroline, beberapa teman kelas juga mulai ambil bagian. Tetapi itu tidak penting, karena yang membuat cerita ini menjadi panjang justru karena Caroline menanyakan alamat Lumantik, dia ingin berkunjung.

Seperti biasa, pulang sekolah Lumantik ditemani Jeny, kebiasaan ini sudah berlangsung hampir delapan bulan. Jeny adalah pemeran utama dalam setiap prestasi sekolah mereka. Apabila setengah dari kelas itu perempuan yang menarik dan berkepribadian, maka Jeny lebih dari itu, dia adalah gadis yang berkepribadian, cantik dan sangat cerdas.

"Lum, apa sih yang kalian bicarakan?"

"Dengan siapa?" tanya Lumantik.

"Caroline." Jawab Jeny.

"Oh, kami bicarakan penyelamatan dunia, he he he"

"Orang Indonesia memang begitu, kalau bicara dengan orang asing selalu merasa hebat, kau kampungan !" Di luar perkiraan Lumantik, Jeny sangat marah.

"Kok begitu? Aku mengatakan yang sesungguhnya. Nanti sore, kami bertemu di Asrama." Jawab Lumantik. "Ngomong-ngomong, kok kamu marah sekali ?"

"Diam !!" Jeny memotong ucapan Lumantik.

Lumantik menghentikan langkah, berbalik menatap Jeny. "Ada apa ? Kenapa marah sekali? apa salahku ?"

"Pokoknya tidak bisa !!"

"Tidak bisa ? Apa yang tidak bisa ?" Lumantik tambah bingung menghadapi sikap Jeny.

"Kamu bukannya menyelamatkan dunia, tetapi memelototi payudaranya!!" Kata Jeny lebih keras, ia mulai berlari meninggalkan Lumantik.

Lumantik terkejut mendapatkan Jeny yang tiba-tiba sangat marah, ternyata Jeny tahu apa yang dilakukannya di kelas. Dalam hati Lumantik mengakui bahwa dari sudut pandang tertentu, pantas saja kalau Jeny marah padanya, tetapi sikap dan amarah Jeny kali ini dia nilai melebihi kemarahan seorang sahabat.

JENY

Kalau anda lahir sesuai waktu yang diharapkan maka kelahiran Jeny lebih disyukuri dari pada kelahiran anda! Jeny lahir setelah orang tuanya putus asa dalam usaha mendapatkan anak. Selama berada dalam kandungan dia sudah membuat banyak orang kuatir dan mengundang usaha lebih keras untuk mempertahankannya. Dan ketika nongol dari rahim ibunya kebahagiaan yang dia bawa lebih besar dari kebahagiaan yang anda bawa. Dia adalah anugerah yang disyukuri lebih besar dibandingkan anugerah yang datang tepat waktu.

Seperti anak-anak lain, Jeny sewaktu kecil merepotkan orangtuanya dengan keingintahuan, hanya saja Jeny memiliki kemampuan memahami dengan cepat. Dia mengerti perbedaan satuan, puluhan, ratusan dan ribuan pada kelas TK, dan mampu mengembangkannya sehingga bisa menulis angka puluhan ribu dan ratusan ribu. Pada umur TK juga, dia sudah tahu bahwa burung kutilang tidak bernyanyi tri li li. Sejak SD Jeny tidak pernah melepaskan gelar Juara Umum, kemampuan akademisnya telah beberapa kali mengharumkan nama kotanya yang terisolasi. Dia tidak pernah menjadi nomor dua, tetapi nomor satu.

Saat ini ia sudah kelas dua SMA tetapi cerita ini terjadi delapan bulan yang lalu, tepatnya hari terakhir ujian kenaikan kelas.

***

Jeny menggerutu ketika membuka tasnya. "Si Jan memang bandel," penggaris dan pensil tidak ada dalam tas. "Jan sudah mulai merepotkan!" Tidak mau menggerutu lebih lama, Jeny meminjam pada teman-teman kelas, tetapi tidak berhasil. Didesak waktu, Jeny memutuskan berlari ke rumahnya.

Setelah kira-kira lima puluh meter meninggalkan sekolah, Jeny merasa kakinya mulai goyah. Dia baru sadar harusnya dia tidak berlari hari itu, tak lama kemudian dia jatuh terduduk. Dari arah depan seorang anak berseragam SMA yang sedang buru-buru terpaksa berhenti membantu Jeny berdiri.

"Apakah kamu baik-baik saja ?"

"Iya," jawab Jeny tidak yakin.

Jeny memaksakan untuk meneruskan perjalanannya, namun dalam beberapa langkah, dia jatuh terduduk. Anak yang tadi menolongnya terpaksa kembali ke tempatnya.

"Nona, aku mau ujian harus buru-buru."

"Aku juga," kata Jeny kacau

"Kamu SMA 1 ya ? mengapa berlari ke arah SMA 10?"

"Mau mengambil penggaris dan pensil ke rumah, ketinggalan!"

"Matematika ?"

"Ya," Jawab Jeny singkat.

"Kamu pakai penggaris dan pencilku aja. Cepat... kita sudah terlambat."

Jalan beberapa langkah Jeny mulai terseok dan hendak jatuh lagi, membuat anak di sampingnya gusar. Selang beberapa saat Jeny merasakan ada tangan mengangkat tubuhnya, agak lama dia memahami apa yang terjadi hingga ia mendengar langkah kaki yang berlari kepayahan membopongnya. Rupanya anak itu tidak mau terlambat lebih lama, Jeny tidak bisa memprotes karena pikirannya mampu memahami tindakan itu.

Guru piket tidak keberatan mengijinkan mereka masuk malah ikut membantu Jeny sampai ke kelasnya. Setelah duduk dan berhasil menguasai dirinya, Jeny merasa bagai pecundang yang harus dibopong untuk mengikuti ujian. Kembali lagi dia menggerutu kepada Jan, adiknya. "Kamu sudah mulai nakal ya... awas kamu nanti."

Kejadian tersebut tidak membuat Jeny dan penolongnya saling kenal, ia penasaran untuk mengenal anak itu lebih jauh. Tidak seperti anak laki-laki lain yang berlomba-lomba mencari perhatiannya, anak itu langsung berlari setelah menempatkan Jeny di kursi. Kalau dia sama seperti mereka, usai ujian anak itu pasti datang untuk mendapatkan perhatian lebih jauh dan Jeny sudah menyiapkan makian untuknya, karena dia main angkat saja tanpa meminta ijin terlebih dahulu.

Dalam perjalanan pulang sebulan kemudian, Jeny mendapatkan penolongnya berjalan kaki ke arah yang sama dengannya. Tanpa pikir panjang Jeny meminta papanya menghentikan mobil.

"Hae." Sapanya.

"Hae Juga,"

Sambil memberitahu bahwa anak itulah yang menolongnya sebulan yang lalu, Jeny meminta papanya menurunkannya di situ, papa Jeny meninggalkan mereka berdua.

"Bagaimana kabarmu, apa kamu naik kelas? Eh nama kamu siapa?" Jeny bertanya bertubi-tubi.

"Saya baik-baik saja nona, kamu boleh panggil saya Lum, panjangnya Lumantik."

"Saya bukan nona, saya mempunyai nama, kenapa kamu tidak tanyakan ?" Protes Jeny setelah sekian lama menunggu Lumantik menanyakan namanya.

"Oh..." Kata Lumantik seenaknya. Seulas senyum mewarnai wajahnya seakan protes Jeny Lucu.

"Kok oh...?"

"Lumantik yang geli diprotes kemudian memandang Jeny lebih dekat, dia sangat kagum pada mata indah Jeny, tidak ada pancaran membosankan di sana."

"Baiklah, nama saya Jeny." Jeny akhirnya memberitahukan namanya.

"Cuma Jeny ?"

"Ya, Nama saya memang sengaja dibikin pendek."

"Sengaja? Apa maksudmu ?"

"Ketika ibuku mengandung pertama kali, ayah menyediakan nama. Tetapi pada usia kandungan 4 bulan, ibu keguguran. Kakek mengatakan nama yang disediakan terlalu panjang."

"Dan ketika ibumu mengandung lagi, nama yang disediakan tinggal Jeny ?" Lumantik menimpali.

"Kira-kira begitulah, sebenarnya pemotongan nama masih terjadi sekali lagi sebelum sampai pada Jeny."

"Maaf... berarti ibu kamu keguguran dua kali sebelum kamu lahir?" Lumantik merasa sudah menyederhanakan cerita Jenny.

"Ya...tetapi kamu tidak perlu minta maaf." Kata Jenny. "Aku lahir pada sembilan tahun usia pernikahan orangtuaku. Tujuh tahun kemudian adikku lahir, ia diberi nama Jan." Jeny melanjutkan.

Lumantik diam, gadis yang sekarang sedang berjalan santai bersamanya sangat terbuka, ia merasa bersalah karena telah menyederhanakan cerita yang mengandung rasa sakit, keputusasaan dan tentu saja kebahagiaan yang besar.

"Aku naik kelas, ruanganku di kelas II Biologi 2, bagaimana dengan kamu?" Jeny mengalihkan pembicaraan.

"Oh ya ? Aku juga di ruangan yang sama." Jawab Lumantik gembira.

Besok paginya Lumantik memasuki kelas II Biologi 2, ia memperhatikan seluruh ruangan berharap melihat Jeny, tetapi Jeny tidak ada disana. "Jangan-jangan anak itu terjatuh lagi." pikirnya. Tetapi setelah bel tanda masuk berbunyi, Jeny nongol dengan wajah pucat, kelihatannya dia berlari memburu bel. Jeny menuju meja Lumantik.

"Lum, saya duduk di sini."

"Sudah ada orang." Jawab Lumantik bingung.

"Tidak bisa, pokoknya saya harus di sini."

"Oh ya, tas saya mau kamu apain he." Seseorang menyela mereka, dia bernama Leny.

"Leny please, kamu cari meja lain." Jeny membujuk Leny, namun tidak berhasil karena Leny sangat menyukai duduk di samping jendela.

Setelah mencari-cari dan gagal menemukan meja kosong, Jeny akhirnya mau duduk di kursi sebelah kiri Lumantik. Tidak lama kemudian Pak Diso, wali kelas sekaligus pembawa mata pelajaran biologi memasuki ruangan.

Hari pertama mereka diawali acara perkenalan yang dipenuhi canda tawa, namun demikian Jeny merasakan keistimewaan pertemuan hari pertamanya itu. Dia merasa terlibat diskusi-diskusi edukatif dan argumentatif. Nampaknya bukan dia saja yang bisa merujuk dan membandingkan pendapat pakar tentang hal yang mereka pelajari. Si Lumantik yang pendiam itu ternyata menguasai banyak hal. Leny di sebelahnya tak kalah hebat, dia sangat peduli dan menguasai teori-teori evolusi. Hampir tidak ada yang tidak memberikan pendapat, hebatnya, pendapat mereka sangat argumentatif. Jeny bertanya-tanya "darimana datangnya orang-orang hebat ini?" "Apakah mereka sengaja dikumpulkan? Bukankah pemilihan jurusan berdasarkan keinginan masing-masing orang?" Menyadari itu semua, Jeny senang dengan suasana kelas barunya. Kekagumannya berlanjut pada saat bel tanda pulang berbunyi, dia tidak melihat ritual desak-desakan di pintu kelas tetapi malah sebaliknya, semuanya masih segar bugar, tidak ada tanda-tanda kelelahan diwajah teman-temannya. Di sudut ruangan Jeny malah menyaksikan sebuah perdebatan seputar pelajaran yang baru saja diakhiri oleh pak Diso.

"Mereka bukan siswa biasa," Jeny mengambil kesimpulan sambil bergegas menyusul Lumantik yang sudah sampai pintu kelas.

"Lum, aku hampir terlambat gara-gara nunggu kamu." Kata Jeny setelah berhasil menyusul.

"Apa ?"

"Iya, taunya kamu berangkat lebih pagi."

"Kalau begitu saya menunggumu besok." Kata Lumantik gembira.

"Oh jangan besok Lum, hari rabu saja."

bersambung...

 
 
 
  Novel oleh Harefa, Kris Daftar Isi