Wise On Worstworld
Kala pilihan tidak banyak, kala harus memilih dalam waktu singkat
Kala harap tidak ada dalam pilihan, kala terpaksa dalam mengambil keputusan
Mungkin makian menjadi relevan, mengambil-alih jadi ide cemerlang
Kita pun berkata "hidup ini kejam," dendam, merancang pemberontakan yang sia-sia
selamat datang di W i s e On Worst World
Menghirup udara pagi merasakan matahari terbit
Minum kopi bebas kimiawi, meracik bumbu tanpa fitsin
Memakai air bebas kaporit, tidur lelap tanpa farmasi
Barangkali masih bisa, barangkali masih nikmat
w on w w   a g a r   k a u   d a n   a k u   b e r k a t a   "h i d u p   i n i   i n d a h"



  BÕLIGANA'A Daftar Isi  
  Cerpen Berlatar Budaya Nias oleh Harefa, Kris  
 
 
 

Setelah memasuki ruangan, Gahaogõ1 melihat Gani berlari ke arahnya. Dengan kepala tertutup kain, Gani menangis tersedu-sedu di bahu Gahaogõ. Mula-mula bagai orang yang hatinya terluka, tak lama kemudian berubah menjadi aliran himne. Begitulah, perempuan Nias yang akan menikah selalu menjalani Fame’e.2 Mulai saat itu dia berstatus bene’õ,3 tinggal di kamar sepanjang hari dan hanya boleh keluar untuk mandi, makan dan menyambut tamu dengan menangis di bahu mereka. Entah bagaimana munculnya, himne dalam tangis bene’õ bermakna ganda, sebagai ucapan selamat tinggal sekaligus dakwaan yang mempertanyakan sikap ayah bunda dan sanak saudara yang tidak menyelamatkannya dari status bõligana’a.4

***

Gani adalah adik bungsu Ayah Gahaogõ. Usia balita Gani telah menjadi yatim piatu, itu sebabnya Gani diasuh orangtua Gahaogõ. Tinggal serumah dengan usia yang hampir sama, membuat Gani dan Gahaogõ sangat akrab. Mereka bermain dan belajar bersama, saling melindungi dan sering kali bersekongkol. Dalam tradisi keluarga Nias, Gani menyandang keistimewaan sebagai anak bungsu, sementara di diri Gahaogõ melekat status calon pewaris utama, karena dia anak sulung dan laki-laki dari pewaris utama. Itulah sebabnya mereka jarang dilarang, apalagi dipukul sebagaimana anak-anak lainnya. Teguran kepada mereka lebih berupa penjelasan panjang lebar daripada kemarahan yang meledak-ledak. Mereka tumbuh dan berkembang dalam rasa aman, memiliki kebebasan yang jauh lebih besar dibandingkan anak-anak desa itu pada umumnya. Keduanya menjadi anak-anak yang menonjol, silih berganti menjadi juara kelas serta dihormati oleh teman-teman sebaya.

Pada masa SMA yang mereka jalani di kota, keduanya tetap berprestasi. Gani sering menjuarai lomba menulis, baca puisi atau pidato, sementara Gahaogõ konsisten pada prestasi akademis. Keistimewaan yang dilekatkan tradisi tidak membuat mereka manja, keduanya bagai burung petualang yang selalu ingin terbang bebas, saling mendukung dalam menaklukkan belantara kehidupan. Mata mereka tertuju pada langit biru nun jauh di atas, tempat tertinggi untuk hinggap. Keduanya paham bahwa untuk mencapai langit nan biru itu perlu kuliah, mereka sepakat bahwa tempat persinggahan berikutnya adalah Yogyakarta. Namun sesuatu yang tak pernah terpikirkan oleh mereka membuat Gani harus menggulung sayap dan berhenti. Rencana Gani ditolak mentah-mentah oleh saudara-saudaranya. Sebuah penolakan yang melibatkan hukum investasi sebagai bahan pertimbangan utama, menenggelamkan sosok Gani sebagai adik dan memunculkan sosok yang entah berapa tahun lagi akan menjadi ibu dari keturunan orang lain, menghapus sosok Gani sebagai anak bungsu yang amat disayang digantikan sosok yang entah berapa tahun lagi menjadi bõligana’a di keluarga lain. Investasi pendidikan pada sosok Gani sama sekali tidak memberikan deviden pada keluarga tetapi akan dinikmati keluarga orang lain!

Kebersamaan mereka terputus, Gahaogõ pergi ke Yogyakarta, diiringi tatapan Gani yang putus asa. Matanya bersimbah air, menangisi nasibnya yang malang sekaligus kehilangan keponakan yang juga sahabat karibnya itu. Tiga bulan lamanya Gani dikuasai kemarahan, membenci dirinya yang tak lebih seorang calon bõligana’a. Dalam emosi dia memarahi Tuhan yang memberikannya payudara dan vagina bukannya jakun dan penis. Dia menjadi pemurung dan lebih sering menyendiri hingga suatu ketika seorang agen perusahaan Goni, multilevel marketing yang saat itu sedang berkembang di Nias, membangkitkan kembali mimpi-mimpinya. Bagai bensin yang tersulut api, semangat burung petualang itu kembali membara. Berbagai presentasi dan seminar yang dia ikuti, mampu membuatnya melihat begitu banyak jalan mencapai langit nan biru. Kepada Gahaogõ dia menulis "supaya tahu saja Haogõ, di pekerjaan ini kitalah yang menentukan gaji kita sendiri." Income, bonus dan berbagai penghargaan prestasi yang dijanjikan bagai doping yang membuat Gani tidak kenal lelah dalam menyisir desa-desa memperkenalkan Goni dan melakukan presentasi masal. Surat-suratnya kepada Gahaogõ dipenuhi optimisme untuk mencapai target downline. Namun setelah tiga tahun membanting tulang di Goni, pesimisme mewarnai surat-surat Gani, mula-mula dia menulis "targetnya sudah terpenuhi Haogõ, tinggal menunggu bonusnya." Agak lama kemudian, suratnya berbunyi "kok bonusnya tidak turun-turun ya ?" Dalam waktu yang tidak terlalu lama, dia menulis "Goni pembohong!"

Dari seberang lautan Gahaogõ sangat marah, dia ingin sekali pulang memberi pelajaran kepada orang-orang yang telah mengecewakan Gani, tantenya. Dia menyarankan Gani untuk bersabar sembari mencari saran-saran hukum yang mungkin berguna di kemudian hari. Namun dalam surat berikutnya, Gani malah menulis "Ada pria yang selalu memujiku." Kemudian suratnya berbunyi, "Haogõ, aku jatuh cinta." Akhirnya dia menulis "Kau harus pulang saat pesta pernikahanku!"

***

Gahaogõ beranjak ke kamar bene’õ ingin menggoda Gani yang jatuh cinta. Berbagai ledekan dia siapkan yakin tantenya akan tersipu-sipu. Namun Gani sedang murung, jauh dari bahagia.

"Besok hari pernikahan tante, jangan buat kami makin kehilangan."

Gani bangkit memeluk Gahaogõ penuh rindu, kepergian Gahaogõ empat tahun silam merupakan kehilangan besar bagi Gani, itulah sebabnya hampir setiap minggu dia menulis surat. Merasa tantenya sudah kembali, Gahaogõ memberikan gelang yang dia siapkan sebagai kado. Gani menerimanya dengan wajah berbinar-binar, dia mengelus-elus gelang itu sembari tersenyum bahagia. Namun beberapa saat kemudian wajahnya kembali murung, elusannya pun melemah.

"Tante, mengapa murung lagi ?"

"Aku bingung Haogõ, ini hari terakhirku sebagai Gani."

"Apa maksud tante ?"

"Semuanya menjadi mengerikan Haogõ, besok aku menjadi bõligana’a, budak belian! Mula-mula mereka mengambil semua barang hadiah pernikahannya, gelang ini termasuk dalam pembagian!"

Gahaogõ diam, teringat kejadian empat tahun lalu ketika kata bõligana’a menjadi kata kunci penolakan rencana Gani untuk kuliah. Kali ini dia melihat hakim yang bernama adat memegang palu bertuliskan pernikahan, tanpa ragu besok hakim itu mengetukkan palunya, menjadikan Gani bõligana’a. Bunyinya bertalu, diiringi gendang, gong dan faritia,5 mengundang pesta pora. Jauh sebelumnya, keputusan itu telah menghancurkan cita-cita Gani dan mulai esok hari akan membuat hidup Gani menderita.

"Bõligana’a hidup dibawah kekuasaan suami, mertua, ipar-ipar serta bõligana’a yang lebih tua. Dia terlilit utang pernikahan, Haogõ. Harus tinggal di rumah mertua karena mereka tidak sanggup lagi untuk membangun sekedar rumah sederhana."

Muka seram adat semakin nyata seiring kata-kata Gani. Berbagai persyaratan dan seserahan yang selama ini Gahaogõ pandang formalitas belaka, kini terlihat bagai petaka. Keluarga perempuan menentukan bõwõ6 dengan memperhitungkan jumlah sinema7 untuk nuwu,8 niwa9 dan para tetua adat, semuanya berdasarkan bosi,10 mengukir wajah murung pasangan muda Nias.

"Sejak empat tahun silam, aku sudah banyak mengerti tentang bõligana’a Haogõ, aku tidak punya pilihan. Aku mencintainya!"

Sampai di keluarga mertua, bõligana’a harus menunjukkan rasa terimakasih terutama kepada mertua dan ipar-ipar karena mereka ikut membayar bõwõ. Walau partisipasi mereka tetap saja berstatus hutang, barang-barang bene’õ wajib dibagikan sebagai ucapan terimakasih belaka.

"Haogõ, jangan diam saja, tolong katakan sesuatu!" Gani mengguncang tubuh Gahaogõ yang mematung.

Dakwaan Gani melalui himne dalam tangis penyambutan tadi, ternyata bukan sekedar hiasan, tetapi dakwaan yang sejak dulu kala tidak pernah digubris. Sebagai orang yang sudah hampir sarjana, Gahaogõ tidak tahu harus berkata apa, untuk kedua kalinya ia merasa bagai pecundang. Tepat di depannya kini orang yang sangat disayanginya menjerit-jerit minta bantuan, tetapi dia tidak punya ide untuk membantu. Dibayangi kata-kata Gani yang masih mengalir, Gahaogõ untuk pertama kalinya bermaksud melarikan diri, dia tidak tahan! Niatnya jauh-jauh dari Yogya datang demi kebahagiaan Gani, ternyata tak lebih mengantarkan Gani menjadi bõligana’a. Benaknya dipenuhi kontradiksi antara kebahagiaan tantenya yang jatuh cinta dengan penderitaan tantenya setelah menjadi bõligana’a. Tiba-tiba saja Gahaogõ berdiri, dia membangunkan Gani yang masih duduk, memeluknya dan tanpa berkata apa-apa lagi pergi meninggalkan kamar itu. Semalaman Gahaogõ tidak bisa memejamkan mata, terus memikirkan cara terbaik agar Gani pergi bukan untuk menjadi bõligana’a tetapi untuk menempuh hidup baru yang bahagia. Bahkan hingga pagi merekah Gahaogõ tidak bisa menemukan ide yang terbaik. "Semuanya sudah terlambat", pikirnya. Bõwõ sudah dibayar, sinema untuk nuwu, niwa dan para tetua adat juga sudah diserahkan, "tidak ada yang bisa dilakukan!"

Bunyi gendang, gong dan faritia bertalu-talu, membentuk harmoni pesta pora sekaligus menyadarkan Gahaogõ bahwa pihak mempelai pria sudah datang, yang juga berarti pesta sudah dimulai. Ayah dan ibunya serta beberapa tetua silih berganti memanggilnya turun. Dia calon pewaris utama yang memiliki hak sinema dan pada tingkat tertentu berhak memberi pendapat dalam pembicaraan adat. Tetapi Gahaogõ tidak mau mengambil bagian, apalagi menerima sinema. Dia terus berpikir dan berpikir, ini kedua kalinya dia menghadapi pahitnya konsekuensi adat, khususnya kata bõligana’a. Terlintas di benaknya untuk memanggil mempelai pria di kamar itu dan memintanya berkomitmen agar menjaga Gani dari perlakuan buruk pasca pernikahan. Ada juga ide nakal yang menggoda untuk mencuri buah tangan nuwu, niwa, tetua dan tamu undangan yang berupa perhiasan emas atau perak untuk diberikan kepada Gani nantinya, dengan demikian mereka bisa membangun rumah sederhana dan hidup terpisah dari para majikan baru. Tetapi ide yang dia nilai paling realistis adalah pergi ke kamar bene’õ sekarang untuk menguatkan Gani agar tidak membiarkan barang-barangnya dibagi serta meyakinkan Gani agar berani berkata tidak pada setiap perlakuan yang merugikannya pasca pernikahan. Tetapi ide itu datang terlambat, karena sekarang terdengar suara Gani yang meraung-raung serta bunyi-bunyian yang kembali membentuk harmoni pesta pora. Gahaogõ telah menghabiskan hari untuk berpikir dan kini pesta sudah hampir berakhir. Sebentar lagi tantenya akan diserahkan kepada pihak mempelai pria. Walau sudah berketetapan untuk tidak ambil bagian, namun tak urung hatinya sedih menyadari bahwa Gani mengharapkan dia ada disana. Sesuai tradisi, orang-orang yang mengangkat bene’õ adalah orang-orang yang paling disayanginya, karena tradisi itu juga bene’õ merasa sangat terluka bila orang-orang dekatnya tidak hadir saat itu. Tanpa pikir panjang Gahaogõ berlari ke kamar bene’õ, dia ingin hadir untuk tantenya dan bukan menjadi bagian pengesahan bõligana’a. Dengan kepala tertunduk, Gahaogõ ikut mengangkat Gani yang terus menangisi nasibnya, kegalauannya belum sirna bahkan menjadi-jadi. Dengan berurai air mata, dia kembali mempertanyakan sikap orang-orang dekatnya yang diam saja, padahal sebentar lagi dia akan menjadi bõligana’a!

Gahaogõ berdiri di antara sanak keluarga menyaksikan Gani yang kini perlahan menjauh. Burung petualang itu ditandu bagai seorang putri, kepalanya berhias emas dengan baju warna-warni. Sekilas kata bõligana’a bagai ironi, keagungannya justru bagai permaisuri. Bunyi gendang, gong dan faritia mengiring dalam harmoni, bagai penghormatan kepada ratu junjungan negeri. Tapi sesungguhnya dia bukan putri, bukan permaisuri, terlebih bukan junjungan negeri. Dia hanyalah persembahan bagi suami, sepantas dan selayak bõwõ dalam ukuran bosi. Gahaogõ merasa aneh, raungan Gani yang sesungguhnya merupakan gugatan tajam atas nasib buruk yang sebentar lagi harus disandangnya, nampaknya seperti nyanyian merdu di telinga sanak saudara. Mereka sama sekali tidak terpengaruh. Yang terdengar justru tarikan nafas lega entah karena suksesnya acara pernikahan atau karena menyaksikan betapa agungnya kepergian Gani yang ditandu. Hemm.

1. Huruf "õ" dalam tulisan ini mewakili bunyi vocal "e" dalam kata "beli"

2. Fame’e = Membuat seseorang menangis. Sebuah tahapan adat pernihakan. Tanda petik satu (’) yang ada di antara dua vocal menandakan bahwa vokal setelahnya harus dibaca dengan tekanan seperti "a" dalam "aku" dan bukan seperti "a" dalam "bias."

3. Bene’õ : Sebutan kepada mempelai wanita sejak masa Fame’e sampai masa selesainya rangkaian upacara adat.

4. Bõli = Harga; Gana’a=Emas = imbalan emas yang sudah dibayarkan. Kata ini menjadi cap atau status perempuan Nias yang sudah menikah.

5. Faritia = Gong kecil yang dipakai sebagai alat musik pernikahan.

6. Bõwõ = Total bayaran pihak mempelai laki-laki yang diserahkan kepada pihak mempelai perempuan.

7. Sinema = Sejumlah uang yang harus diberikan kepada pihak-pihak tertentu dalam adat pernikahan Nias.

8. Nuwu = Keluarga dari Ibu mempelai perempuan.

9. Niwa = Keluarga dari Ayah mempelai perempuan.

10. Bosi = Tingkat status dalam adat Nias. Bosi yang lebih tinggi akan menerima Sinema yang lebih tinggi.
 
 
 
  Cerpen Berlatar Budaya Nias, oleh Harefa, Kris Daftar Isi